Puasa Membuat Kaya

*Hikmah Puasa Ramadhan*
*Puasa membuat Kaya*

Sebagai seorang beriman telah menjadi kewajiban kita untuk berpuasa di bulan Ramadhan, sebagaimana Allah berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻛَﻤَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺘَّﻘُﻮﻥَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa." (Al Baqarah: 183)

Dalam ayat tersebut Allah telah mewajibkan kepada kita untuk berpuasa, sebagaimana umat terdahulu sebelum umat nabi Muhammad diwajibkan untuk berpuasa.

Apabila ditanya : Apa manfaat puasa?
Saya jawab : Puasa dapat membuat orang kaya, dapat jodoh, memperoleh pekerjaan, dan meraih kesuksesan.
Jika ditanya : mengapa demikian? Bukannya puasa bikin males kerja, males ngapa-ngapain?
Saya jawab : Bukanlah Allah telah menjelaskan, bahwasanya puasa menjadikan seseorang bertakwa, لعلكم تتقون dalam surat al-baqarah di atas.
Ditanya : Apa hubungannya bertakwa dan membuat kaya, dapat jodoh dan memperoleh kesuksesan?
Jawab : Allah berfirman
ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟًﺎ ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya .” (Ath Tholaq: 2-3).

Dalam ayat ini Allah berjanji, bahwasanya orang yang bertakwa, akan diberi jalan keluar dari setiap permasalahannya, dan diberikan rezeki yang tidak di duga-duga :
1⃣ Susah nyari kerja, dengan sebab takwa Allah mudahkan mencari kerja.
2⃣ Tidak nemu-nemu jodoh, dengan sebab takwa Allah pertemukan dengan jodohnya.
3⃣ Sulit menghadapi beban kehidupan, dengan sebab takwa Allah berikan ia rezeki yang melimpah.

Jadi, Puasa ➡ Takwa ➡ mendapat pertolongan Allah.

https://chat.whatsapp.com/JhanCZQqLHjAERsrV4uhrG

10 Keistimewaan di Bulan Ramadhan

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Untuk bergabung dengan grup *KAJILAGI* klik tautan dibawah 👇
https://chat.whatsapp.com/JhanCZQqLHjAERsrV4uhrG

Persiapkan Diri Anda untuk Menyambut Ramadhan

Ramadhan dan Keistimewaannya

Ramadhan adalah nama bulan ke-9 dalam kalender Hijriah, Ramadhan dalam bahasa arab berasal dari kata (رمض) yang berarti panas, dikarenakan pada bulan tersebut cuaca di jazirah arab sedang musim panas.

Masuknya tanggal satu Ramadhan, ditandainya dengan terlihatnya hilal saat terbenam matahari pada hari ke-29 bulan Syaban, dan jika hilal tidak terlihat, maka bulan Syaban digenapkan menjadi 30 hari, yang berarti tanggal satu Ramadhan jatuh pada esok harinya.

Keistimewaan Bulan Ramadhan di antaranya adalah :
1⃣ Bulan Diturunkannya Al-Qur'an
Pada bulan ini, Al-Qur'an diturunkan oleh Allah secara menyeluruh dari _Lauhil Mahfuzh_ ke _Baitul Izzah_ di langit dunia yang disebut malam _Nuzulul Qur'an_ dan pada bulan ini pula Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dari langit dunia kepada Rasulullah selama 23 tahun yang disebut malam _Lailatul Qadar_. Allah berfirman,
ﺷَﻬْﺮُ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ ﻫُﺪًﻯ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺑَﻴِّﻨَﺎﺕٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻭَﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺎﻥِ
_Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)._ (Al-Baqarah : 185)
ﺇِﻧَّﺎ ﺃَﻧﺰَﻟْﻨَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﻟَﻴْﻠَﺔِ ﺍﻟْﻘَﺪْﺭِ
_Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemulian._ (Al-Qadar: 1)

2⃣ Kewajiban Berpuasa di Siang Hari
Diwajibkan berpuasa sebulan penuh, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, karena puasa Ramadhan merupakan salah satu dari rukun Islam? Rasulullah bersabda,
ﺑُﻨِﻲَ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻤْﺲٍ : ﺷَﻬَﺎﺩَﺓُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪﺍً ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺇِﻗَﺎﻡُ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻭَﺇِﻳْﺘَﺎﺀُ ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓِ ﻭَﺣَﺞُّ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻭَﺻَﻮْﻡُ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ
_Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan._ (Riwayat Turmuzi dan Muslim)

3⃣ Keutamaan Bersedekah di dalamnya
Sedekah itu pahalanya amat sangat banyak di dunia ataupun di akhirat kelak, dengan sedekah seseorang tidak akan menjadi miskin. Dan sedekah di bulan Ramadhan lebih afdhol dari pada sedekah di bulan-bulan selainnya, pahalanya lebih berlipat ganda. Dan bahkan sebagaimana ada sebuah hadits,
ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺟﻮﺩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ، ﻭﻛﺎﻥ ﺃﺟﻮﺩ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺣﻴﻦ ﻳﻠﻘﺎﻩ ﺟﺒﺮﻳﻞ ، ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻠﻘﺎﻩ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻴُﺪﺍﺭﺳﻪ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ، ﻓﺎﻟﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺟﻮﺩُ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻳﺢ ﺍﻟﻤﺮﺳَﻠﺔ
_“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus.”_ (Diriwayatkan Bukhari)

4⃣ Malam Lailatul Qadar
Allah mengutamakan Ramadhan karena di dalamnya terdapat malam lailatul qadar, yaitu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Rasulullah bersabda,
ﺃَﺗَﺎﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ ﻓَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﻣَﺮَﺩَﺓُ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦِ ﻟِﻠَّﻪِ ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ ‏» . ﻭﻓﻲ ﻟﻔﻆ ﺃﺣﻤﺪ : ...)) ﺗﻔﺘﺢ ﻓﻴﻪ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺠﻨﺔ (( ﺑﺪﻻً ﻣﻦ )) ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ))
_"Telah datang kepada kalian Ramadhan bulan yang penuh berkah, Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan berpuasa di dalamnya, di dalamnya dibuka pintu-pintu langit, dan ditutup pintu-pintu neraka, dibelenggu para pemimpin setan, di dalamnya Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang diharamkan dari kebaikannya maka ia benar-benar telah diharamkan kebaikan apapun"._ (Diriwayatkan An-Nasa'i)

5⃣ Shalat Tarawih
Kaum muslimin telah bersepakat, tentang kesunnahan shalat malam di bulan Ramadhan, dan para ulama telah menjelaskan bahwasanya shalat malam yang dimaksud adalah shalat Tarawih. Mengenai keutamaannya Rasulullah bersabda,
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻡَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧًﺎ ﻭَﺍﺣْﺘِﺴَﺎﺑًﺎ ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺫَﻧْﺒِﻪِ
_“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”_ (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim)

6⃣ Beritikaf di Masjid
Para ulama berpendapat bahwasanya I'tikaf di masjid pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan hukumnya adalah sunnah muakkad (dianjurkan sekali), hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah,
ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻌْﺘَﻜِﻒُ ﺍَﻟْﻌَﺸْﺮَ ﺍَﻟْﺄَﻭَﺍﺧِﺮَ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ , ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻮَﻓَّﺎﻩُ ﺍَﻟﻠَّﻪُ , ﺛُﻢَّ ﺍﻋْﺘَﻜَﻒَ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟُﻪُ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ – ﻣُﺘَّﻔَﻖٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
_Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat._ (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim)

7⃣ Membaca Al-Qur'an dan Berdzikir
Dianjurkan untuk banyak mempejari dan membaca Al-Qur'an di dalam bulan ini, sebagaiman hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
ﺃﻥ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﻛﺎﻥ ﻳﻌْﺮﺽُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻛُﻞَّ ﻋَﺎﻡٍ ﻣَﺮَّﺓً ، ﻓَﻌﺮﺽَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌَﺎﻡِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻗُﺒِﺾَ ﻓﻴﻪ
_“Dahulu Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam setiap tahun sekali (pada bulan ramadhan). Pada tahun wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alayi wasallam Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau sebanyak dua kali (untuk mengokohkan dan memantapkannya)_ ” (Diriwayatkan Bukhari)

8⃣ Pahala Dilipat Gandakan
Setiap amalan perbuatan di bulan Ramadhan, pahalanya dilipat gandakan oleh Allah, sebagaimana hadits,
ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﺪ ﺃﻇﻠﻜﻢ ﺷﻬﺮ ﻋﻈﻴﻢ ، ﺷﻬﺮ ﻓﻴﻪ ﻟﻴﻠﺔ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﻟﻒ ﺷﻬﺮ ، ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻴﺎﻣﻪ ﻓﺮﻳﻀﺔ، ﻭﻗﻴﺎﻡ ﻟﻴﻠﻪ ﺗﻄﻮﻋﺎ ، ﻣﻦ ﺗﻘﺮﺏ ﻓﻴﻪ ﺑﺨﺼﻠﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻛﺎﻥ ﻛﻤﻦ ﺃﺩﻯ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻮﺍﻩ، ﻭﻣﻦ ﺃﺩﻯ ﻓﻴﻪ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻛﺎﻥ ﻛﻤﻦ ﺃﺩﻯ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻮﺍﻩ
_“Wahai sekalian manusia, telah datang pada kalian bulan yang mulia. Di bulan tersebut terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Puasanya dijadikan sebagai suatu kewajiban. Shalat malamnya adalah suatu amalan sunnah. Siapa yang melakukan kebaikan pada bulan tersebut seperti ia melakukan kewajiban di waktu lainnya. Siapa yang melaksanakan kewajiban pada bulan tersebut seperti menunaikan tujuh puluh kewajiban di waktu lainnya.”_ (Diriwayatkan Ibnu Khuzaimah)

9⃣ Berbuka Puasa
Memberi makan orang berpuasa pahalanya amatlah sangat besar, Rasulullah bersabda,
ﻣَﻦْ ﻓَﻄَّﺮَ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﺜْﻞُ ﺃَﺟْﺮِﻩِ ﻏَﻴْﺮَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﺮِ ﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢِ ﺷَﻴْﺌًﺎ
_“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”_ (Diriwayatkan Tirmidzi)

1⃣0⃣ Umrah di Bulan Ramadhan
Umrah pada bulan Ramadhan pahalanya lebih besar daripada di selainnya, sebagaimana Rasulullah bersabda,
ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ ﺍﻋْﺘَﻤِﺮِﻯ ﻓِﻴﻪِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻋُﻤْﺮَﺓً ﻓِﻰ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺠَّﺔٌ
_“Jika Ramadhan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadhan senilai dengan haji. ”_ (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim)

*_Arsyad Farisi_*

Tanya Jawab pukul 18.00 - 21.00 WIB (waktu lain mengikuti), pertanyaan yang sesuai materi silahkan tulis di grup dengan memberi "quote (petikan langsung)".

*Sebarkan Kebaikan, Jangan Berhenti di Anda*

Membasuh Tumit dalam Berwudhu

Syarah Umdatul Ahkam – Hadits Ke-3
Membasuh Tumit dalam Berwudhu

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ وَأَبِيْ هُرَيْرَةَ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالُوا: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Hurairah, dan Aisyah –semoga Allah meridhoi mereka- berkata, Rasululullah ﷺ bersabda, “Celakalah (ada ancaman) bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh dengan air wudhu) berupa api neraka.”
(Diriwayatkan Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam an-Nasa’i)

Syarah Hadits
Lafazh (وَيْلٌ) jika diterjemahkan secara bahasa berarti, celakalah. Jika dilihat dalam kamus lisanul arab berarti jangan main-main untuk melakukannya atau jangan coba-coba. Dan kata-kata yang sejenis dengan ini adalah (ويح) (وَيْب) (وَيْس) dimana ketiga kata tersebut memiliki makna yang sama. Akan tetapi terdapat suatu pendapat yang datangnya dari Abu Said al-Khudri, bahwasanya (وَيْلٌ) adalah nama jurang (lembah) di neraka, yang dimana dalamnya jurang tersebut, seandainya gunung-gunung di dunia dimasukkan kedalamnya, maka gunung-gunung tersebut akan hilang tanpa berbekas.
Adapun makna hadits ini adalah bahwasanya kelak di akhirat tumit-tumit yang tidak terbasuh ketika berwudhu akan terkena api neraka, mengapa demikian karena sebagaimana dijelaskan dalam redaksi lengkap hadits diatas,
وهو أنه - صلى الله عليه وسلم - رأى قوما وأعقابهم تلوح؛ فقال: «ويل للأعقاب من النار»
Dan bahwasanya Rasululullah ﷺ pernah melihat suatu kaum (di akhirat) yang kelak tumit-tumit mereka memancarkan cahaya, maka beliau ﷺ bersabda, “Celakalah (ada ancaman) bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh dengan air wudhu) berupa api neraka.”
Jadi berdasarkan hadits di atas, tumit merupakan bagian yang wajib dibasuh saat wudhu, sebagaimana keumuman dalam firman Allah ﷻ :
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” (Al-Maidah : 6)
Karena tidaklah mungkin Rasulullah mengancam dengan siksaan api neraka terhadap tumit yang tidak terkena air wudhu, jikalau itu bukanlah suatu kewajiban. Karena yang namanya ancaman siksaan itu diperoleh tak kala melalaikan kewajiban atau melaksanakan sesuatu yang dilarang.

Bulan Sya'ban, Bulannya Beshalawat

Bulan Sya’ban, Bulannya Bershalawat
Salah satu keutamaan yang terdapat di bulan Sya’ban adalah sebagai bulan diperintahkannya shalawat dan salam kepada Rasulullah , hal ini sebagaimana Allah telah nyatakan di dalam Al-Qur’an,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab : 56)

As-Sayyid Muhammad Al-Maliki menyebutkan di dalam kitabnya ma dza fii sya’ban, beliau menulis bahwasanya Ibnu Ash-Shaif Al-Yamani berkata, “Dikatakan bahwa sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulan bershalawat kepada Rasulullah . Sebab ayat (surah al-Ahzab ayat 56) tersebut, diturunkan dalam bulan Sya’ban.”

Dan berkata pula, Imam Syihabuddin Al-Qasthalani bahwasanya sebagaian ulama mengatakan, bahwa bulan Sya’ban adalah bulan untuk bershalawat kepada Rasulullah  sebab ayat yang memerintahkannya turun pada bulan Sya’ban.

Dan menjelaskan pula Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, bahwasanya ayat tersebut diturunkan pada bulan Sya’ban pada tahun 2 H atau ada pendapat pada tahun dimana Rasululullah di isra’ dan mi’raj kan. Semua pendapat ini dapat diliat dalam kitab karangan As-Sayyid Muhammad.

Adapun maksud ayat di atas, Allah memerintahkan kepada semua orang yang beriman agar senantiasa bershalawat kepada Nabi Muhammad karena Allah dan para Malaikat-Nya pun senantiasa bershalawat kepadanya. Dan maksud dari perintah ini, bukanlah semata-mata keperluan Allah, tetapi untuk tujuan pengagungan mereka terhadap sesuatu yang mereka imani dengan suatu perintah yang sesuai dengan Allah sang Penguasa, Sang Maharaja. Allah telah memberi hidayah kepada Nabi untuk kaum mukminin, dan dengan lisan Nabi dapat mengantarkan mereka kepada suatu derajat yang dimiliki beliau.

Shalat kita kepada Nabi Muhammad, bukanlah berarti kita memberi syafa’at Nabi Muhammad, sebab tiadalah mungkin orang seperti kita dapat memberikan syafa’at kepada beliau, karena beliau sendiri adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Akan tetapi shalawat itu ibarat pemberian tanda terima kasih kita, kepada seorang yang menujukkan kita kepada jalan kebenaran. Dan sungguh mustahil-lah kita dapat memberikan sesuatu kepada Nabi Muhammad, maka sebaik-baiknya pemberian yang dapat kita berikan kepada Rasulullah hanyalah berupa doa dalam bentuk shalawat, yang mana dengan doa tersebut nantinya pahalanya akan mengalir dan kembali kepada kita yang membacanya. Karena sebagaimana Rasulullah bersabda,
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا
“Barangsiapa yang membacakan shalawat kepadaku sekali saja, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.”

(Diriwayatkan Imam Muslim)

Suci dari Hadats

Syarah Umdatul Ahkam – Hadits Ke-2
Suci dari Hadats

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَى يَتَوَضَّأَ"
Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- mengatakan, Rasululullah bersabda, “Tidaklah Allah menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila berhadats hingga ia berwudhu.”
(Diriwayatkan Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam at-Tirmidzi)

Syarah Hadits
Dalam hadits diatas kalimat (لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ) Tidaklah Allah menerima shalat salah seorang di antara kalian, para ulama menjelaskan maksud dari hadits ini, bahwasanya Allah tidak akan menerima shalat seorang atau maksudnya shalat orang tersebut tidaklah sah (dibenarkan) dalam syariat Islam, karena sebagaimana perkataan para ulama,
كُلُّ مَقْبُوْلٍ صَحِيْحٌ وَلَيْسَ كُلُّ صَحِيْحٍ مَقْبُوْلًا
Setiap yang diterima (oleh Allah) pasti sah (benar), tapi bukanlah setiap yang sah (benar) pasti diterima (oleh Allah).
Dengan kata lain, ketika Rasulullah menyebutkan shalat tidak diterima Allah, berarti sama saja dengan Rasulullah ingin menyatakan shalatnya tidak sah, dan berarti orang tersebut wajib mengulangi sholatnya. Berbeda dengan orang yang shalat, kemudian hatinya lalai (atau tidak khusu) dia shalat, shalatnya itu sah (benar) menurut syariat islam, tapi belum tentu shalatnya diterima oleh Allah.
Kemudian Rasulullah melanjutkan perkataannya (إِذَا أَحْدَثَ حَتَى يَتَوَضَّأَ) yang berarti bahwasanya orang yang tidak diterima shalatnya adalah orang yang berhadats hingga dia berwudhu. Jadi dengan kata lain, shalat itu tidak sah tanpa wudhu atau bersuci. Dan hadits ini juga menjadi penjelas bahwasanya, setiap orang yang hendak mendirikan shalat tidak harus berwudhu di setiap shalat, akan tetapi ia cukup berwudhu tatkala ia berhadats. Hadits ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (Al-Maidah : 6)
Karena hadits diatas justru menjadi penjelas terhadap ayat di atas, bahwasanya orang yang hendak mendirikan shalat dia harus berwudhu tatkala ia berhadats. Adapun jika ia tidak berhadats maka berwudhu lagi untuk shalat hukumnya adalah sunnah, karena sebagaimana Rasulullah bersabda,
لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتهمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاةٍ بِوُضُوءٍ, وَمَعَ كُلِّ وُضُوءٍ بِسِوَاكٍ
“Seandainya tidak memberatkan ummatku, pastilah aku akan perintahkan untuk berwudhu pada tiap mau shalat. Dan wudhu itu dengan bersiwak.” (Diriwayatkan Imam Ahmad)
Akan tetapi jika ia memilih untuk tidak berwudhu karena belum berhadats, maka tidak mengapa karena shalatnya sudah sah. Karena syarat sahnya shalat adalah terbebas dari hadats.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

Hadats itu terdapat dua macamnya, hadats kecil dan hadats besar. Hadats itu berbeda dengan najis, karena cara bersuci dari hadats pun berbeda. Hadats kecil dihilangkan dengan cara berwudhu, sedangkan hadats besar dihilangkan dengan cara mandi wajib. Jikalau tidak ada air, maka hadats kecil dan besar dapat dihilangkan dengan cara berwudhu.

Perbuatan Harus Disertai Niatnya

Syarah Umdatul Ahkam – Hadits Ke-1
Niat

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: "إَنَّمَا الْأَعْمَالُ بَالنِّيَّاتِ - وَفِيْ رِوَايَةٍ: بِالنِّيَّةِ - وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إَلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إَلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ"
Dari Umar bin Al-Khattab –semoga Allah meridhainya- menuturkan bahwa aku mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Sessungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya. –dalam riwayat lain- “dengan niatnya”- setiap orang hanyalah akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, pahalanya adalah hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka pahalanya sesuai dengan niatnya.”
(Diriwayatkan Imam Bukhari)

Syarah Hadits
Sebelum memulai segala pembahasan tentang Ibadah kepada Allah, maka yang pertama-tama haruslah diawali dengan Niat, dan hadits salah satu hadits yang menerangkan tentang Niat adalah hadits ini. Insya Allah kami Akan mencoba memaparkan, apa-apa saja yang terkandung dalam hadits di atas.
Kalimat (إَنَّمَا) dalam ilmu Balaghoh disebut dengan al-hashr (pembatasan), yang berarti sesungguhnya hanyalah. Seperti perkataan seorang pujangga, إِنَّمَا حُبِّيْ لّكِ (sesungguhnya cintaku hanyalah untukmu).
Adapun kalimat (إَنَّمَا الْأَعْمَالُ بَالنِّيَّاتِ) adalah berupa kalimat al-hashr (pembatasan), yang bermakna “tiadalah suatu amal melainkan hanya dengan niat”, karena tidak suatu pekerjaan disebut ‘amal jika tanpa niat.
Dalam redaksi selanjutnya (وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى) yang berarti bahwa “tiadalah setiap orang melainkan hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, setiap perbuatan yang kita lakukan, jika disertai dengan niat semata-mata untuk mendapatkan pahala dari Allah, maka perbuatan itu akan bernilai ibadah. Seperti ketika seseorang ingin makan, dimana tatkala akan makan, ia meniatkan agar dengan makanan tersebut ia akan memiliki energi untuk melakukan ibadah kepada Allah, maka makan tersebut akan bernilai ibadah juga. Beda halnya ketika suatu ibadah, sholat misalnya, ada seseorang sholat dengan niat berharap diliat mertua, agar dianggap orang baik, maka orang sholat yang seperti ini tidak akan mendapatkan pahala, meskipun yang ia lakukan adalah suatu ibadah. Oleh karena itu, dari hal ini para orang-orang shaleh membuat suatu konsep yang berbunyi,
صِحَّةُ الْعَمَلِ بِالنِّيَّةِ وَفَسَدُ الْعَمَلِ بِالنِّيَّةِ
Baiknya suatu amal karena niatnya, dan buruknya suatu amal juga karena niatnya.
Adapun kalimat (فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ) hingga ke akhir hadits, ini adalah penjelasan dari perkataan Rasulullah ¬shallallahu ‘alaihi wassalam, yaitu tatkala pada saat terjadinya hijrah -hijrah dalam Islam ada 5-, adapun hijrah yang dimaksud dalam hadits ini adalah saat hijrahnya umat Islam dari kota makkah ke madinah, ada seorang yang berhijrah bukan karena ingin menjalankan perintah Allah dan mengikuti Rasulullah, akan tetapi orang ini berhijrah dengan maksud untuk menikahi seorang wanita yang bernama ummu qais, sehingga nantinya orang tersebut dijuluki dengan nama muhajir ummu qais. Adapun, bagi para sahabat yang berhijrah dengan Niat menyelamatkan keimanannya, agar dapat menjalankan perintah Allah serta mengikuti Rasulullah, maka pahalanya berada di sisi Allah, dan pahalanya dapat langsung dinikmati di dunia atau di akhirat kelak, atau akan ia rasakan di dunia dan akhirat.

Niat (النِّيَّةِ)
Niat secara bahasa memiliki arti, maksud yang dituju didalamnya, atau pekerjaan yang diinginkan, atau mengarahkan jiwa sesuai dengan perbuatan.
Adapun niat secara istilah, para ulama memiliki pengertian yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksud dengan niat, yaitu :
1. Madzhab Hanafi
قَصْدُ الطَّاعَةِ وَالتَّقَرُّبِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي إِيجَابِ الْفِعْل
Bermaksud untuk (melakukan) ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah dalam perbuatan yang diwajibkan (ataupun dilarang).
2. Madzhab Maliki
قَصْدُ الإِنْسَانِ بِقَلْبِهِ مَا يُرِيدُهُ بِفِعْلِهِ
Kemauan manusia dalam hatinya untuk melakukan sesuatu yang diinginkan.
3. Madzhab Syafi’i
قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
Maksud (hati) akan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya.
4. Madzhab Hambali
عَزْمُ الْقَلْبِ عَلَى فِعْل الْعِبَادَةِ تَقَرُّبًا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Tekad hati atas suatu perbuatan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Hijrah (اَلْهِجْرَةُ)
Secara bahasa hijrah memiliki arti perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain.
Adapun hijrah dalam Islam itu ada 5, yaitu :
1. Hijrah para sahabat dari kota makkah ke negeri habasyah (ethiopia) sekarang, karena mendapat gangguan dari orang-orang kafir makkah.
2. Hijrah Rasulullah dan para sahabatnya dari kota makkah ke kota madinah, dan inilah momentum hijrah yang menjadi kebangkitan Islam.
3. Hijrah para kabilah-kabilah (suku-suku) di madinah dan sekitarnya, dengan mendatangi Rasulullah untuk mempelajari Islam, kemudian mengajarkan kepada kaumnya masing-masing.
4. Hijrah para penduduk makkah (yang masih dalam kekufuran) dengan mendatangi Rasulullah di madinah, kemudian menyatakan keimanannya setelah itu mereka kembali lagi ke makkah.


5. Hijrah dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.

Seseorang yang Memiliki Keterbelakangan Mental Tidak Akan Dihisab

Pertanyaan
Assalamualaikum,sy ingin bertanya apkah org yg mempunyai keterbelakangan mental akan dihisab atau tidak tlg dijelaskan?

Jawaban
Alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahilladzi haqqo hamdih, wash sholatu ‘ala khoiri kholqih, wa’ala aalihi mim ba’dih, ‘amma ba’du ;

Seseorang yang memiliki keterbelakangan mental, atau autis itu memiliki hukum yang sama dengan orang gila, anak yang belum baligh, dan orang yang belum sampai dakwah Islam kepadanya. Yaitu orang yang tidak memiliki beban syariat, atau dalam bahasa syariat Islam dia bukanlah seorang yang mukallaf (orang yang dibebani syariat), sebagaimana Allah berfirman,

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (Al-Baqarah : 286)

Bantu Klik Iklan diatas yah untuk bantuan dakwah kami

Kemudian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق\
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”. (Diriwayatkan al-Bukhari)

Dalam ayat tersebut Allah menyatakan, tidak akan membebani seseorang diluar batas kesanggupannya, sekarang bagaimana orang yang memiliki keterbelakangan mental, yang dibebaskan dalam melakukan syariat Islam, mau dihisab nanti di hari kiamat ? Di dunia saja dia tidak memiliki kewajiban terhadap syariat Islam, sebagaimana Allah berfirman,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
Sungguh Kami tidak akan mengadzab sebelum mengutus seorang Rasul” (Al Isra: 15)
Dan firman-Nya,
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ. قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا
Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan? Mereka menjawab: “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakan(nya)” (QS. Al Mulk: 8-9)
Dalam dua ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwasanya adzab Allah itu tidak akan diberikan kepada orang-orang yang belum pernah mendengar dakwah para Rasul-Nya. Sekarang coba kita berpikir, apakah orang yang memiliki keterbelakangan mental bisa memahami hal ini ? ada satu buah riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يكون يوم القيامة رجل أصم لا يسمع شيئاً، ورجل أحمق، ورجل هرم ورجل مات في فترة فأما الأصم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أسمع شيئاً، وأما الأحمق فيقول: رب لقد جاء الإسلام والصبيان يحذفونني بالبعر، وأما الهرم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أعقل شيئاً، وأما الذي مات في الفترة فيقول: رب ما أتاني لك رسول، فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه، فيرسل إليهم أن ادخلوا النار، قال: فوالذي نفس محمد بيده لو دخلوها لكانت عليهم برداً وسلاماً
Di hari kiamat ada seorang yang tuli, tidak mendengar apa-apa, ada orang yang idiot, ada orang yang pikun, ada yang mati pada masa fatrah. Orang yang tuli berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang saat itu aku tuli, tidak mendengar Islam sama sekali’. Orang yang idiot berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang, saat itu anak-anak nakal sedang memasung aku di dalam sumur’. Orang yang pikun berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang aku sedang hilang akal’. Orang yang mati pada masa fatrah berkata: ‘Ya Rabb, tidak ada utusan yang datang untuk mengajakku kepada Islam’. Lalu diuji kecenderungan hati mereka pada ketaatan. Diutus utusan untuk memerintahkan mereka masuk ke neraka. Nabi bersabda: ‘Demi Allah, jika mereka masuk ke dalamnya, mereka akan merasakan dingin dan mereka mendapat keselamatan‘” (Diriwayatkan Ahmad)
Jadi kesimpulannya, orang yang memiliki keterbelakangan mental tidaklah akan dihisab di akhirat kelak. Karena toh orang seperti ini tidak ada beban syariat Islam kepadanya.

Wallahu a’lam bishshowab..

Kesempurnaan Al-Qur'an

Al-Qur’an adalah kitab (buku) yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril, untuk disampaikan kepada sekalian manusia yang ada di muka bumi. Di dalam Al-Qur’an tiadalah terkandung suatu ilmu pengetahuan, akan tetapi Al-Qur’an adalah sumber dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala telah nyatakan di dalam Al-Qur’an,
ما فَرَّطْنا فِي الْكِتابِ مِنْ شَيْءٍ
“Tiadalah Luput sesuatu pun di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an).” (Al-An’am : 38)
وَنَزَّلْنا عَلَيْكَ الْكِتابَ تِبْياناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An-Nahl : 89)
Al-Qur’an itu bukan hanya sekedar mengajarkan tentang syariat, akan tetapi semua masalah kehidupan ada di dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an itu ibarat buku pedoman atau buku petunjuk tentang cara-cara hidup manusia di muka bumi ini. Hal ini sebagaimana pula telah Allah Ta’ala nyatakan di dalam Al-Qur’an,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Al-Baqarah : 185)
Seluruh ilmu yang ada di dunia sekarang ini, semuanya sudah ada terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an, seperti ; Ilmu Hukum, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Matematika, Sastra dan Bahasa, Kimia, Fisika, Biologi, Astronomi, Komunikasi, Teknologi, kedokteran dan masih banyak lagi, yang kesemuanya itu ada di dalam Al-Qur’an yang mana nanti Insya Allah, kami akan mencoba memaparkan satu persatu.
Sebenarnya tatkala kita ingin mengetahui akan kandungan tentang kesempurnaan Al-Qur’an, tidak usah kita jauh-jauh membahas tentang ilmu-ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an, kita juga tidak perlu repot-repot mencari berbagai ayat tentang ilmu-ilmu tersebut. Kita hanya cukup memahami, dan memikirkan tentang firman Allah Ta’ala di awal surah,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Al-Baqarah : 2)
Dalam ayat tersebut, di dalam kalimat pengantar kitab-Nya, Allah telah menyatakan bahwasanya Al-Qur’an itu tidak ada keraguan di dalamnya. Sekarang cobalah anda membaca, buku apapun juga, yang ditulis oleh siapapun juga. Adakah mereka menulis dalam bukunya suatu pernyataan, yang menyatakan bahwasanya buku yang mereka tulis itu sempurna, tanpa ada keraguan dan cacat di dalamnya. Pasti, para penulis di dalam bukunya menulis, jika ada salah dimohon kritik dan sarannya. Berbeda dengan Al-Qur’an, yang mana Allah nyatakan kitab (buku) yang tidak ada keraguan di dalamnya. Bahkan dalam ayat lain, Allah malah menantang orang-orang yang menemukan keraguan atau kesalahan dalam Al-Qur’an untuk membuat semisal Al-Qur’an, atau sepuluh surah dalam Al-Qur’an, atau jika tidak mampu juga buat satu surah saja yang semisal surah di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Yunus : 37-38)


Tafsir Larangan Cenderung kepada Orang-orang yang Zalim

وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala  telah melarang Hamba-hambanya untuk melakukan perbuatan zalim, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Selain larangan melakukan perbuatan zalim, Allah pun melarang kaum muslimin untuk cenderung kepada orang-orang yang melakukan perbuatan zalim. Adapun yang dimaksud dengan cenderung ialah membela orang-orang zalim, memihak kepada mereka, atau bahkan hanya sekedar bergaul secara akrab dengan orang yang zalim itu. Bergaul dengan orang-orang zalim dapat menimbulkan bekas yang buruk dalam jiwa manusia, mengotori akidah yang murni dan merusak akhlak.

bantu klik iklan ya buat bantuan dakwah kami

Kriteria Orang-orang yang Zalim
Orang-orang yang zalim adalah setiap orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, seperti kaum musyrikin, kaum yahudi, dan kaum nasrani. Mereka disebut sebagai orang-orang yang zalim karena mereka menyakiti kaum muslimin, membuat fitnah terhadap agama kaum mukminin, serta gemar memperolok-olokkan ayat-ayat Allah Ta’ala. Termasuk pula dalam kriteria orang-orang yang zalim, yaitu orang-orang muslim yang melakukan perbuatan maksiat, mengikuti hawa nafsu, melakukan bidah yang sesat dan ghuluww (perbuatan yang melewati batas, atau berlebihan) dalam beragama.
Imam al-Qurthubi berkata, “Ayat ini memuat petunjuk untuk meninggalkan dan menjauhi orang-orang kafir, pelaku maksiat, dan ahli bidah yang sesat lainnya. Mengikat persahabatan dengan mereka berarti kafir atau melakukan kemaksiatan. Persahabatan tidak terjadi kecuali karena adanya perasaan sayang.”

Perbuatan Orang-orang yang Zalim
Syariat Islam melarang kaum muslimin bergaul dengan orang-orang yang zalim. Pergaulan yang intensif dengan orang-orang yang zalim akan melahirkan kedekatan dan ikatan persahabatan. Dari persahabatan tersebut, lahirlah persetujuan-persetujuan terhadap kezaliman. Lambat laun persahabatan tersebut akan menyeret kaum muslimin ke dalam pengaruh mereka, sehingga akan mempunyai sifat dan perangai seperti orang-orang yang zalim itu.
Perbuatan orang-orang yang zalim telah sangat nyata merugikan kaum muslimin dan membahayakan keyakinan agama. Di antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang zalim, yaitu :
1.      Memerangi Allah dan Rasul-Nya
Orang-orang zalim sering memerangi Allah dan Rasul-Nya dengan cara mengangkat senjata terhadap kaum muslimin. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang munafik, orang-orang kafir, atau orang-orang Islam yang murtad dari agamanya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
2.      Membuat Fitnah
Perbuatan lain yang termasuk kezaliman adalah membuat fitnah di kalangan manusia; baik fitnah yang menyangkut kehidupan sosial maupun fitnah dalam keyakinan agama. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang munafik yang ingin memecah belah persatuan kaum muslimin. Salah satu contoh fitnah yang telah dilancarkan oleh orang-orang munafik terhadap kaum mukminin, yaitu fitnah yang dilancarkan oleh Abdullah bin Ubbay dengan cara menuduh istri Rasulullah, Aisyah melakukan perselingkuhan denga Shafwan bin Mu’aththal, kaum muslimin, termasuk Nabi, Abu Bakar, dan para sahabat lainnya menjadi serba salah dengan adanya fitnah itu. Namun kemudian, Allah membersihkan fitnah itu dan membenarkan kesucian Aisyah dengan menurunkan surah an-Nur ayat 11-21. Setelah turun ayat-ayat tersebut, Rasulullah bersabda kepada Aisyah,
يَا عَائِشَةُ ، أَحْمَدِيَ اللهَ ، فَقَدْ بَرَأَكِ اللهُ
“Wahai Aisyah, hendaklah kamu memuji Allah, sungguh Dia telah melepaskan kamu dari tuduhan orang.” (Diriwayatkan Bukhari)
3.      Melakukan Kemaksiatan dan Perbuatan Dosa Lainnya
Perbuatan ini selain dilakukan oleh orang-orang kafir, juga dapat dilakukan oleh orang-orang muslim yang tipis keimanannya. Contoh dari perbuatan maksiat dan dosa ialah : menjual minuman keras, menyemarakkan perjudian, melakukan penganiayaan, merampok, memeras, dan lain-lain.

Larangan Cenderung kepada Orang-orang yang Zalim
Allah Ta’ala dengan tegas telah melarang kaum muslimin cenderung kepada orang-orang yang zalim. Adapun yang dimaksud dengan cenderung, yaitu berpihak, membela, bersahabat, meridai, mempercayai, memandang baik perbuatan buruk mereka dan lain-lain.
Allah telah mengancam orang yang cenderung kepada orang-orang yang zalim dengan hukuman yang berat, yaitu tidak akan mendapat pertolongan dari Allah. Mereka tidak akan dibela pada hari akhirat karena Allah telah menetapkan akan menyiksa orang-orang yang cenderung kepada kaum yang zalim. Dalam surat dan ayat di atas terdapat isyarat bahwa sedikit saja seseorang cenderung kepada orang-orang yang zalim, wajiblah atasnya siksa. Apabila sedikit cenderung saja akan mendapat siksa, apalagi jika dilakukan dengan sengaja dan terang-terangan, yakni membela orang-orang yang zalim secara terbuka dan berani mati untuk menolong kezalimannya. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَعَانَ ظَالِمًا لِيُدْحِضُ بِبَاطِلِهِ حَقًّا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُوْلِهِ
“Barangsiapa yang menolong seorang yang zalim untuk merebut hak orang lain dengan perbuatan batil, maka Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.” (Diriwayatkan Bukhari)
Firman Allah, ...yang menyebabkan kamu disentuh api neraka... mengisyaratkan bahwa tempat orang-orang yang zalim adalah di neraka. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa bersahabat dengan orang-orang yang zalim dapat menyebabkan pelakunya tersentuh api neraka. Dalam Tafsir ath-Thabari diterangkan bahwa kaum muslimin dilarang cenderung kepada orang-orang yang zalim karena mereka adalah orang-orang yang kufur terhadap Allah. Jika kaum muslimin meridhai amal-amal orang-orang yang zalim, maka mereka akan tersentuh api neraka.
Di sisi lain, apabila kaum muslimin bergaul dengan orang-orang yang zalim dengan tujuan untuk menolak kezaliman, mudarat, atau dalam rangka memberi nasehat, maka perbuatan demikian tidaklah terlarang. Hanya saja, tindakan tersebut mengandung resiko yang besar. Oleh karenanya, mesti diiringi dengan ilmu dan kemampuan agar tidak terjerumus dalam perbuatan zalim itu.


Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari berbuat zalim dan cenderung kepada orang-orang yang zalim. Kami memohon kepada-Mu agar Engkau memberi taufik kepada kami sehingga kami menjadi orang-orang yang adil dan dikumpulkan bersama mereka yang berbuat adil.

Tafsir Larangan Menjadikan Orang Kafir sebagai Wali’

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (mu); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al-Maidah : 51)

Ayat ini berkaitan erat dan lebih menjelaskan tentang ayat yang lain, yaitu :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran : 28)

Di dalam dua ayat yang mulia ini dijelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala  melarang kaum mukminin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai wali seraya meninggalkan orang-orang mukmin. Diterangkan pula bahwasanya ancaman bagi siapa saja yang melanggar larangan ini adalah terlepas dari pertolongan Allah karena orang tersebut sudah termasuk ke golongan orang-orang kafir. Untuk memahami maksud dari kedua ayat tersebut secara lebih mendalam, maka berikut ini adalah beberapa penjelasan tentang larangan berpihak kepada orang kafir.

Sebab Turunnya Ayat Tersebut (Asbabunnuzul)
Dalam suatu riwayat, dikemukakan bahwa al-Hajjaj bin ‘Amr yang mewakili Ka’ab bin Al-Asyraf, Ibnu Aqil Haqiq, serta Qais bin Zaid (tokoh-tokoh Yahudi) telah memikat segolongan kaum Anshar untuk berpaling dari agamanya. Para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yakni Rifa’ah bin al-Mundzir, Abdullah bin Jubair, dan Sa’ad bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan berkata, “Hati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah kalian berpaling dari agama kalian.” Namun, orang-orang Anshar itu menolak peringatan tersebut. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat di atas sebagai peringatan kepada kaum mukminin agar tidak berpihak kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai wali. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id atau Ikrimah, yang bersumber dari Abdullah bin Abbas sahabat Rasulullah)

Kata-kata yang Perlu Dipahami
Kafir adalah orang yang menolak kebenaran dari Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya. Secara singkat kafir itu merupakan kebalikan dari Iman. Dalam surah Ali Imran ayat 28 disebutkan kafir, sedangkan surah al-Maidah ayat 51 lebih memperinci bahwasanya kafir yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani.
Wali jamaknya Auliya adalah penolong, pencinta, pemimpin dan pelindung ataupun teman dekat. Mengacu pada definisi ini maka kalimat jangan mengambil orang-orang kafir sebagai wali atau kalimat jangan mengambil orang yahudi dan nasrani sebagai wali berarti berpihak kepada mereka yang menolak kebenaran yang datangnya dari Allah dan yang disampaikan oleh Rasul-Nya, atau mengambil (menjadikan) mereka sebagai penolong, pelindung ataupun pemimpin.

Konsep Al-Wala’ dan Al-Bara’
Dalam buku-buku akidah dikenal sebuah konsep al-wala’ dan al-bara’; al-wala’ dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar dari kata kerja waliya yang artinya dekat. Adapun pengertian al-wala’ menurut syariat ialah dekat kepada kaum muslimin dengan cara mencintai, membantu dan menolong dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Sementara itu, al-bara’ adalah bentuk mashdar dari kata bari-a yang berarti memutus atau memotong. Dalam pengertian syariat, al-bara’ disini maksudnya memutuskan hubungan atau ikatan (hati) denga orang-orang kafir sehingga tidak lagi mencintai, membantu dan menolong mereka.
Konsep al-wara’ dan al-bara’ sangat relevan dengan pembahasan tentang Larangan Berpihak kepada orang Kafir. Berdasarkan konsep ini, kaum mukminin dapat memahami bahwa loyalitas mereka terhadap sesuatu atau keputusan untuk berlepas diri dari sesuatu merupakan sisi kehidupan yang telah diatur dalam ajaran Islam. Perkara ini sangat penting diketahui mengingat kaum Mukminin sering dihadapkan pada dua pilihan; berpihak kepada Allah atau berpihak kepada Musuh Allah. Kesalahan dalam memilih dapat menyebabkan mereka terperosok dalam Ancaman Allah, seperti dijelaskan dalam dua ayat di atas.
Untuk mengenai konsep al-wara’ dan al-bara’ lebih jauh, akan kami simpulkan pernyataan Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Furqan tentang pengertian al-wara’ dan al-bara’. Al-wara’ dan al-bara’ ialah cinta dan setia kepada Allah subhanahu wa ta’ala mencintai segala yang dicintai-Nya, membenci segala yang dibenci-Nya, meridhai segala yang diridhai-Nya, mengajak orang lain kepada yang diperintahkan-Nya, mencegah orang lain dari yang dilarang-Nya, memberi atas dari Ridha Allah dan memberi kepada seseorang yang tidak Allah Ridhai.

Larangan dan Ancaman Menjadikan Orang Kafir sebagai Wali
Dalam kedua surah di atas secara tegas Allah melarang kaum mukminin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali, walaupun orang-orang kafir tersebut masih memiliki hubungan kerabat ataupun orang yang baik kepada kita. Artinya, selama masih ada orang-orang mukmin bisa dijadikan wali, maka kita wajib untuk mengedepankan mereka.
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai wali. Selanjutnya, dengan firman-Nya, Allah mengancam : Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah,  karena dijelaskan dalam firman-Nya yang lain Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Oleh karenanya, orang-orang mukmin tidaklah dihalalkan menjadikan orang-orang kafir sebagai wali, baik karena kekerabatan, pertemanan, ketetanggan, maupun yang lainnya.
Ilustrasi berikut ini menggambarkan bahaya menjadikan orang kafir sebagai wali. Katakanlah, seorang mukmin menjadikan seorang kafir sebagai wali. Kemudian, karena rasa terima kasihnya, orang mukmin tersebut membocorkan rahasia kaum mukminin atau mengutamakan kepentingan orang-orang kafir, baik disengaja atau tidak. Perbuatan seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan kemudaratan bagi kaum mukminin.
Kaum mukminin wajib menjadikan sesamanya sebagai wali dan mempercayai mereka menyangkut urusan-urusan umum. Ibnu Abbas berkata, “Allah Ta’ala melarang kaum mukminin meminta-minta kepada orang-orang kafir seraya menjadikan mereka sebagai wali.” Maksud perwalian yang dilarang ialah meminta pertolongan, bahu-membahu, baik kekerabatan ataupun karena kecintaan kepada orang-orang kafir. Perwalian tersebut dapat membuka jalan bagi orang-orang kafir untuk merongrong Islam dan kaum Mukminin. Ditinjau dari sisi syariat, perwalian dalam pengertian setuju dengan kekafiran, adalah kafir. Sedangkan perwalian dalam arti bermuamalah secara baik di dunia, tetapi tetap tidak setuju dengan kekafiran, tidak dilarang.
Dalam banyak hal, ajaran Islam telah memerintahkan kaum mukminin agar menjauhi orang-orang kafir dan tidak berpihak sedikit pun kepada mereka. Ditinjau dari sisi mana pun, keberpihakan terhadap orang kafir, terutama yang berpotensi meruntuhkan sendi-sendi keimanan, pasti akan mendatangkan kerugian bagi kaum muslimin.
Dalam ayat yang lain, yakni surah al-Baqarah ayat 120, ditegaskan mengenai karakter asli yang secara fitrah akan terus dimiliki oleh orang-orang kafir sehubungan dengan sikap mereka terhadap kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah : 120)
Allah juga berfirman,
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Baqarah : 105)
Demikianlah Allah Ta’ala memperingatkan orang-orang yang gemar menjalin persahabatan dengan musuh-musuh Allah atau memusuhi kekasih-kekasih-Nya, akan mendapat balasan berupa Azab dan murka-Nya pada hari kiamat. Orang mukmin yang bersahabat dengan orang kafir, lebih mengutamakan kepentingaan mereka, menjadikan dirinya sebagai wali bagi mereka, atau menjadikan mereka sebagai wali bagi dirinya, maka Allah Ta’ala  mengancam dengan firmannya, Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah,  karena dijelaskan dalam firman-Nya yang lain Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.

Wali bagi Kaum Mukminin
Allah Ta’ala telah menjelaskan dalam ayat lain, wali bagi kaum mukminin hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Dari tiga pihak inilah seharusnya kaum Mukminin mengambil wali. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah : 55-56)
Dua ayat ini sangat jelas memberitahukan kaum mukminin bahwa hanya Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang berimanlah yang patut dijadikan wali dalam segala hal. Allah Ta’ala juga memberikan jaminan bahwa kemenangan pasti akan diperoleh oleh orang-orang yang mengikuti agama Allah; yaitu orang-orang yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin sebagai wali.

رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
"Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir".

Disarikan dari buku Ayat-ayat Larangan dan Perintah (Pedoman Menuju Akhlak Muslim) karangan K.H. Qamaruddin Shaleh, dkk. Terbitan CV Diponegoro, Bandung tahun 2002